Konsekuensi Kesalahan dalam Menentukan Awal dan Akhir Ramadhan: Apakah Harus Meng-qadha’?

Apa yang harus dilakukan jika pemerintah keliru menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan? Temukan penjelasan tentang kewajiban meng-qadha’ puasa dan bagaimana kesalahan penetapan bulan Ramadhan dapat mempengaruhi kewajiban berpuasa. Artikel ini juga membahas bagaimana metode syar’i digunakan untuk menentukan koreksi dan kasus sejarah terkait kesalahan penetapan awal Ramadhan.

Konsekuensi Kesalahan dalam Menentukan Awal dan Akhir Ramadhan: Apakah Harus Meng-qadha’?

Pertanyaan:

Apa konsekuensinya jika pemerintah keliru menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan, dan terbukti bahwa kita tidak berpuasa sehari di bulan Ramadhan? Apakah kita harus meng-qadha’ atau bagaimana?

Jawaban:

Alhamdulillah. Jika terbukti dengan metode syar’i bahwa umat Islam melakukan kesalahan dalam menetapkan awal dan akhir Ramadhan, maka mereka wajib meng-qadha’ (mengganti) sejumlah hari yang tidak mereka jalani dengan benar dalam puasa Ramadhan.

Baca Juga :
Ramadhan Bulan Al-Qur'an

Bagaimana Kesalahan Ini Bisa Terjadi?

Kesalahan dalam penetapan awal dan akhir bulan Ramadhan dapat dikonfirmasi dengan beberapa metode syar’i, di antaranya:

  1. Menyempurnakan bulan Sya’ban hingga 30 hari – Kemudian, apabila ada seseorang yang terpercaya bersaksi bahwa ia telah melihat hilal (bulan sabit) pada malam ke-30 Sya’ban dan persaksiannya diterima oleh hakim, maka ini bisa menjadi dasar koreksi.

  2. Penetapan Idul Fitri setelah hanya 28 hari berpuasa – Jika umat Islam mulai berpuasa Ramadhan pada tanggal yang ternyata keliru, kemudian melihat hilal Syawal setelah baru menjalani 28 hari puasa, maka mereka wajib menebus satu hari sebagai pengganti puasa yang terlewat.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda bahwa bulan hijriah tidak mungkin kurang dari 29 hari. Jika terbukti bahwa awal Ramadhan keliru dan umat Islam baru berpuasa 28 hari saat hilal Syawal terlihat, maka satu hari puasa harus di-qadha’.

Kasus Sejarah dalam Kesalahan Penetapan Awal Ramadhan

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mencatat dalam Fatawa (juz 25, hal. 154-155) bahwa kesalahan seperti ini pernah terjadi pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Saat itu, kaum Muslimin berpuasa selama 28 hari, sehingga Ali memerintahkan mereka untuk meng-qadha’ satu hari agar jumlah puasa menjadi minimal 29 hari.

Kasus serupa juga terjadi di Arab Saudi pada tahun 1404 H. Komisi Fatwa Saudi Arabia mengeluarkan fatwa bahwa umat Islam harus meng-qadha’ satu hari karena kesalahan dalam menentukan awal Ramadhan. (Lihat: Fatawa Lajnah Daimah li al-Ifta, 10/122).

Pada tahun itu, hilal Ramadhan baru terlihat pada malam Kamis, sehingga pemerintah Arab Saudi memerintahkan untuk menyempurnakan Sya’ban menjadi 30 hari. Namun, ketika hilal Syawal terlihat pada malam Jumat, maka Idul Fitri ditetapkan pada hari Jumat. Akibatnya, umat Islam di sana hanya berpuasa 28 hari, yang tidak sah menurut syariat. Oleh karena itu, mereka diwajibkan meng-qadha’ satu hari sebagai bentuk tanggung jawab terhadap kesalahan tersebut.

Bagaimana Jika Koreksi Didasarkan pada Perhitungan Astronomi atau Hisab?

Jika koreksi terhadap awal dan akhir Ramadhan tidak dilakukan berdasarkan metode syar’i, melainkan hanya berdasarkan perhitungan astronomi (hisab) atau prasangka sebagian orang, maka koreksi ini tidak perlu diperhatikan dan tidak dapat dijadikan dasar hukum syariah.

Kesimpulan

Jika kesalahan dalam penetapan awal Ramadhan terbukti dengan metode syar’i, maka umat Islam wajib meng-qadha’ puasa yang kurang. Namun, jika koreksi hanya berdasarkan hisab tanpa dalil syar’i yang valid, maka tidak ada kewajiban meng-qadha’.

Wallahu a’lam.