Hukum Mabbaca-Baca dalam Tradisi Bugis Menurut Perspektif Ulama Islam

Mabbaca-baca adalah tradisi dalam budaya Bugis yang sering kali menjadi sorotan dalam perspektif Islam. Artikel ini membahas pandangan ulama Islam mengenai hukum mabbaca-baca, potensi bid'ah, serta contoh dari ajaran Rasulullah.

Hukum Mabbaca-Baca dalam Tradisi Bugis Menurut Perspektif Ulama Islam

Memahami Tradisi Mabbaca-Baca dalam Budaya Bugis

Mabbaca-baca adalah salah satu tradisi budaya yang dikenal dalam masyarakat Bugis. Tradisi ini melibatkan pembacaan doa atau mantra dalam berbagai acara seperti pernikahan, kelahiran, atau upacara adat lainnya. Bagi masyarakat Bugis, mabbaca-baca sering kali dianggap sebagai upaya untuk meminta perlindungan, keberkahan, atau kesembuhan dari kekuatan gaib atau leluhur.

Namun, dalam konteks ajaran Islam, tradisi ini menimbulkan pertanyaan mengenai keabsahannya. Apakah mabbaca-baca ini sesuai dengan ajaran Islam, ataukah justru bertentangan dengan prinsip-prinsip tauhid? Lebih penting lagi, apakah ada contoh dari Rasulullah SAW atau para sahabat yang melakukan hal serupa? Jika tidak, tradisi ini bisa saja termasuk dalam kategori bid'ah atau amalan yang tidak ada dasarnya dalam Islam.

Pandangan Ulama tentang Tradisi Mabbaca-Baca

Para ulama Islam memandang tradisi mabbaca-baca dengan sangat hati-hati. Mereka mengingatkan bahwa segala bentuk ibadah atau ritual yang tidak memiliki dasar dalam ajaran Islam dapat dikategorikan sebagai bid'ah, yaitu inovasi dalam agama yang tidak diajarkan oleh Rasulullah SAW. Ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan untuk menentukan apakah sebuah tradisi seperti ini dapat diterima dalam Islam:

  1. Isi Doa atau Mantra: Ulama menekankan bahwa isi dari doa atau mantra yang dibaca sangat menentukan hukum tradisi tersebut. Jika doa yang dibaca adalah doa-doa yang diambil dari Al-Qur'an atau Hadits, maka hal itu dapat dianggap sebagai amalan yang baik. Namun, jika doa tersebut mengandung unsur syirik, seperti meminta bantuan kepada selain Allah, maka tradisi tersebut menjadi haram dan termasuk bid'ah.

  2. Niat dan Tujuan: Niat di balik mabbaca-baca juga sangat penting. Jika tujuan dari tradisi ini adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memohon perlindungan atau keberkahan dari-Nya, maka niat tersebut dianggap baik. Namun, jika niatnya adalah untuk mendapatkan kekuatan gaib atau mengandalkan kekuatan selain Allah, maka hal ini bertentangan dengan prinsip tauhid dan tidak memiliki contoh dari Rasulullah SAW.

  3. Contoh dari Ulama dan Rasulullah SAW: Sangat penting untuk memastikan bahwa setiap amal ibadah memiliki contoh yang jelas dari Rasulullah SAW atau para sahabat. Tradisi yang tidak memiliki landasan atau contoh dari ajaran Islam yang murni dapat dianggap sebagai bid'ah. Ulama mengingatkan bahwa segala bentuk ibadah yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah SAW harus dihindari untuk menjaga kemurnian tauhid.

  4. Penggunaan Mantra atau Jampi: Ulama juga mengingatkan bahwa penggunaan mantra atau jampi-jampi yang tidak berasal dari ajaran Islam dapat membawa seseorang kepada perbuatan syirik. Ini karena mantra tersebut sering kali terkait dengan praktik-praktik yang tidak sesuai dengan Islam dan tidak ada contohnya dari Rasulullah SAW.

Hukum Mabbaca-Baca Menurut Perspektif Islam

Secara umum, hukum mabbaca-baca dalam tradisi Bugis dapat dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan pandangan ulama:

  1. Diperbolehkan (Mubah): Jika tradisi ini dilakukan dengan membaca doa-doa yang sesuai dengan ajaran Islam, seperti doa-doa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW, dan dengan niat yang ikhlas hanya kepada Allah, maka tradisi ini diperbolehkan. Namun, penting untuk memastikan bahwa doa tersebut memiliki landasan yang kuat dalam Islam dan tidak termasuk dalam bid'ah.

  2. Dibenci (Makruh): Jika mabbaca-baca dilakukan dengan doa-doa yang tidak memiliki dasar yang kuat dalam Islam, tetapi tidak mengandung unsur syirik, maka tradisi ini bisa dianggap makruh. Meskipun tidak haram, sebaiknya dihindari karena tidak memiliki landasan yang jelas dan tidak dicontohkan oleh Rasulullah SAW.

  3. Diharamkan (Haram): Tradisi mabbaca-baca menjadi haram jika doa atau mantra yang dibaca mengandung unsur syirik, seperti meminta perlindungan kepada jin atau makhluk gaib lainnya, atau jika niat di balik tradisi ini bertentangan dengan tauhid. Amalan seperti ini termasuk dalam kategori bid'ah yang merusak kemurnian akidah Islam.

Dalil-Dalil yang Menyangkut Tradisi Mabbaca-Baca

Islam memberikan panduan yang jelas mengenai doa dan zikir. Dalam Surah Al-Baqarah ayat 186, Allah SWT berfirman:

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku..." (QS. Al-Baqarah: 186)

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah adalah satu-satunya tempat untuk meminta pertolongan dan perlindungan. Oleh karena itu, segala bentuk doa dan permohonan harus ditujukan hanya kepada-Nya.

Rasulullah SAW juga bersabda:

مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ

"Barangsiapa yang menggantungkan sesuatu (pada selain Allah), maka dia akan diserahkan kepada sesuatu itu." (HR. Ahmad)

Hadits ini memperingatkan umat Islam untuk tidak bergantung pada hal-hal selain Allah, termasuk dalam hal tradisi-tradisi yang mengandung unsur syirik dan tidak ada contohnya dari Rasulullah SAW. Amalan seperti ini dapat jatuh pada kategori bid'ah yang dilarang.

Dampak dan Implikasi dari Mabbaca-Baca

Melakukan tradisi yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dapat berdampak negatif pada keimanan seseorang. Ketergantungan pada kekuatan selain Allah dapat mengurangi keimanan dan menjauhkan seseorang dari tauhid yang murni. Selain itu, praktik seperti ini juga dapat menimbulkan ketergantungan pada ritual-ritual yang tidak memiliki dasar dalam Islam dan tidak dicontohkan oleh Rasulullah SAW, sehingga mengaburkan ajaran yang sebenarnya.

Kesimpulan

Tradisi mabbaca-baca dalam masyarakat Bugis harus dilihat dengan kacamata ajaran Islam dan contoh dari Rasulullah SAW. Selama doa yang dibaca sesuai dengan ajaran Islam, memiliki landasan yang kuat, dan niatnya hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah, tradisi ini bisa diterima. Namun, jika tradisi ini mengandung unsur syirik, tidak memiliki contoh dari Rasulullah SAW, atau bertentangan dengan prinsip tauhid, maka tradisi ini harus ditinggalkan. Umat Islam harus selalu kembali kepada Al-Qur'an, Sunnah, dan contoh dari ulama yang terpercaya sebagai panduan utama dalam beribadah dan menjalankan tradisi budaya, memastikan bahwa semua yang dilakukan sesuai dengan ridha Allah SWT dan tidak termasuk dalam kategori bid'ah.