Qurban untuk Orang yang Telah Meninggal Dunia: Perspektif Islam dan Penjelasan Ulama
Terdapat perdebatan apakah boleh melakukan qurban atas nama orang yang telah meninggal dunia. Mayoritas ulama memandang bahwa qurban harus dilakukan atas nama individu yang hidup atau dengan izin mereka, tetapi ada juga yang membolehkannya sebagai sedekah jariyah.

Qurban, sebagai salah satu ibadah yang dilaksanakan umat Muslim selama bulan Dzulhijjah, sering kali menimbulkan pertanyaan terkait dengan apakah boleh atau tidaknya diniatkan untuk orang yang telah meninggal dunia. Dalam konteks ini, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang keabsahan qurban atas nama orang yang sudah meninggal dunia. Artikel ini akan menjelaskan pandangan ulama serta dalil-dalil yang melatarbelakangi masing-masing pendapat.
Pendapat yang Membolehkan Qurban untuk Orang yang Telah Meninggal Dunia
- Pendapat Imam Nawawi dan Al-Syafi'iyyah
Imam Nawawi, dalam karyanya menyatakan:
وَلَا تَضْحِيَةَ عَنْ الْغَيْرِ بِغَيْرِ إذْنِهِ، وَلَا عَنْ الْمَيِّتِ إذَا لَمْ يُوصِ بِهَا
Artinya, "Tidak sah qurban untuk orang lain selain dengan izinnya. Tidak sah pula qurban untuk mayit jika ia tidak memberi wasiat untuk qurban tersebut." (Kifayah Al-Akhyar, Muhammad bin 'Abdul Mu'min Al-Hishni).
Dalil dari pendapat ini adalah firman Allah SWT dalam Surah An-Najm ayat 39:
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى
Artinya, "Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya."
Pendapat ini mengikuti prinsip bahwa qurban merupakan amal ibadah yang harus diniatkan atas nama diri sendiri atau dengan izin dari orang yang akan diqurbankan untuknya.
- Pendapat Al-Majmu' dan Abu Al-Hasan Al-Abbadi
Di sisi lain, terdapat pandangan yang memperbolehkan qurban atas nama orang yang sudah meninggal dunia, meskipun tanpa wasiat dari mereka. Al-Majmu' mencatat:
لَوْ ضَحَّى عَنْ غَيْرِهِ بِغَيْرِإذْنِهِ لَمْ يَقَعْ عَنْهُ (وَأَمَّا) التَّضْحِيَةُ عَنْ الْمَيِّتِ فَقَدْ أَطْلَقَ أَبُوالْحَسَنِ الْعَبَّادِيُّ جَوَازَهَا لِأَنَّهَا ضَرْبٌ مِنْ الصَّدَقَةِ وَالصَّدَقَةُ تَصِحُّ عَنْ الْمَيِّتِ وَتَنْفَعُ هُوَتَصِلُ إلَيْهِ بِالْإِجْمَاعِ
Artinya, "Jika seseorang berkurban untuk orang lain tanpa seizinnya maka tidak sah. Adapun berkurban untuk orang yang telah meninggal dunia, Abu Al-Hasan Al-Abbadi memperbolehkannya secara mutlak karena termasuk dalam bentuk sedekah. Sedekah untuk orang yang telah meninggal dunia ini sah dan manfaatnya bisa sampai kepada mereka sebagaimana yang disepakati para ulama."
Pandangan ini menekankan bahwa qurban dapat dianggap sebagai sedekah jariyah yang manfaatnya dapat sampai kepada orang yang telah meninggal dunia.
Penjelasan dan Analisis
Pandangan pertama yang tidak memperbolehkan qurban tanpa izin atau wasiat dari orang yang akan diqurbankan untuknya didasarkan pada prinsip bahwa setiap ibadah, termasuk qurban, harus diniatkan secara langsung oleh individu yang melakukan ibadah tersebut atau dengan izin dari pihak yang bersangkutan. Ini sejalan dengan prinsip bahwa setiap orang bertanggung jawab atas amal perbuatannya sendiri, sebagaimana Allah SWT berfirman:
Surah An-Najm ayat 39:
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى
Artinya, "Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya."
Sementara itu, pendapat yang membolehkan qurban untuk orang yang telah meninggal dunia, meskipun tanpa izin mereka, mengacu pada konsep sedekah jariyah yang dalam Islam dianggap sebagai amal baik yang manfaatnya dapat dinikmati oleh orang lain setelah kematian mereka.
Kesimpulan
Dalam konteks qurban untuk orang yang telah meninggal dunia, terdapat dua pendapat utama di kalangan ulama Islam. Pendapat yang lebih kuat secara teologis dan dianggap sahih oleh mayoritas ulama adalah bahwa qurban harus diniatkan atas nama orang yang melakukan ibadah qurban atau dengan izin dari pihak yang akan diqurbankan untuknya. Namun, terdapat juga pandangan yang memperbolehkan qurban atas nama orang yang telah meninggal dunia, terutama jika ini dilakukan dalam bentuk sedekah jariyah yang manfaatnya dapat sampai kepada mereka.
Sebagai umat Islam, penting untuk memahami dasar hukum dari setiap ibadah yang dilaksanakan agar sesuai dengan ajaran agama dan mendatangkan manfaat baik di dunia maupun di akhirat. Dengan memahami dan menghormati perbedaan pendapat di kalangan ulama, kita dapat memilih pandangan yang sesuai dengan keyakinan dan praktek ibadah kita dalam berqurban.