Hukum Memakai Atribut Natal dalam Islam: Larangan Tasyabbuh dan Bahaya terhadap Akidah
Hukum memakai atribut Natal dalam Islam adalah haram. Artikel ini mengulas larangan tasyabbuh (menyerupai) syiar agama lain, berdasarkan Fatwa MUI, dalil Al-Qur'an, dan penjelasan ulama. Simak penjelasan lengkapnya.
Pendahuluan
Di tengah masyarakat multireligius seperti Indonesia, interaksi antarumat beragama kerap menimbulkan pertanyaan hukum, terutama terkait partisipasi dalam tradisi agama lain. Salah satu isu sensitif adalah penggunaan atribut Natal—seperti topi Sinterklas, pohon cemara, atau ornamen kelahiran Yesus—oleh seorang Muslim. Mayoritas ulama, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI), secara tegas menyatakan hukumnya haram. Artikel ini akan menguraikan dasar hukum dan bahaya di balik penggunaan atribut tersebut dari perspektif syariat Islam.
Dasar Hukum dan Pandangan Ulama
Larangan memakai atribut Natal berakar pada prinsip tasyabbuh bil kuffar (menyerupai orang kafir), yang dilarang dalam Islam. Berikut adalah dalil-dalil utama yang mendukung pendapat ini:
-
Larangan Tasyabbuh dalam Hadis
Rasulullah SAW bersabda:
"Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka." (HR. Abu Dawud).
Ulama menegaskan bahwa atribut Natal—sebagai simbol ritual keagamaan Kristen—termasuk syiar yang tidak boleh ditiru, karena menyerupai syiar agama lain dapat mengaburkan identitas keislaman. -
Fatwa Resmi Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Pada 2016, MUI mengeluarkan fatwa tegas: Menggunakan atribut keagamaan non-Muslim (termasuk Natal) hukumnya haram. Fatwa ini didasarkan pada analisis bahwa atribut tersebut bukan sekadar budaya, melainkan memiliki muatan akidah yang bertentangan dengan tauhid. -
Dalil Al-Qur'an
Dalam QS. Al-Furqan: 72, Allah SWT berfirman:
"Dan orang-orang yang tidak memberikan kesaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berguna, mereka berlalu dengan menjaga kehormatannya."
Ulama tafsir menjelaskan bahwa "perbuatan tidak berguna" mencakup partisipasi dalam ritual syirik, termasuk perayaan agama lain.
Dalam artikel islamqa.info
Hukum Bermain Suatu Permainan Yang Di Dalamnya Ada Perayaan Hari Raya Non Muslim
Dikutip juga bahwa tidak diperbolehkan merayakan perayaan non muslim, tidak juga perayaan bid’ah yang diadakan oleh sebagian orang Islam. Meskipun hal itu termasuk dalam permainan. Karena yang diharamkan itu tidak diperbolehkan rela dan mengakuinya. Apalagi ikut serta di dalamnya. Bagi umat Islam tidak ada perayaan yang dirayakan kecuali hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Selain dari itu, termasuk perayaan yang baru. Kalau dilakukan dalam rangka beribadah, maka ia termasuk bid’ah tercela. Kalau dilakukan karena sekedar kebiasaan (adat) saja, juga dilarang dari sisi menyerupai orang kafir. Karena mereka dikenal dengan membuat perayaan dan merayakannya. Diriwayatkan Abu Dawud, (1134) dan Nasa’I, (1556) dari Anas berkata:
قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا ، فَقَالَ : ( مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ ؟ ) قَالُوا: كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ ) وصححه الألباني في "السلسلة الصحيحة" ( 2021
“Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam datang di Madinah, sementara mereka mempunyai dua hari bermain di dalamnya. Maka beliau bertanya, “Apa dua hari ini? Mereka menjawab, “Dahulu kami bermain dalam dua hari waktu jahiliyah. Maka Rasulullah sallallahu alahi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik hari raya Adha dan hari raya Fitri. Dinyatakan shoheh oleh Albani di ‘Silsilah Shohehah, (2021).
Beliau sallallahu alaihi wa sallam juga bersabda, “Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk di dalamnya.” HR. Abu Dawud, (4031) dinyatakan shoheh oleh Albani di ‘Shoheh Sunan Abi Dawud.
Kalau sekiranya tidak dapat melewati perayaan dalam permainan ini dan harus ikut serta di dalamnya, maka tidak diperbolehkan melanjutkan permainan. Dan permainan mubah yang tidak ada hal itu banyak dan mencukupi.
Permainan semacam ini, menumbuhkan anak kecil cinta terhadap kebatilan dan membiasakannya. Menjadikan perayaan hari valentin, hari raya Barbi, hari kelahiran. Harus berhati-hati dan jauhkan anak kecil darinya.
Analisis Bahaya dan Konteks Kontemporer
Meski sebagian pihak berargumen bahwa atribut Natal telah menjadi budaya global, perspektif syariat tetap melihatnya sebagai simbol religius yang tidak terpisah dari keyakinan Kristen tentang ketuhanan Yesus. Berikut poin kritis yang memperkuat keharaman:
-
Bahaya terhadap Akidah: Penggunaan atribut Natal dapat mengikis kepekaan tauhid seorang Muslim, terutama bagi anak-anak yang belum paham batasan antara toleransi dan ikut ritual.
-
Kebingungan Identitas: Islam menekankan prinsip al-wala' wal barra' (loyalitas kepada Muslim dan berlepas diri dari syirik). Mengadopsi simbol agama lain berpotensi mengaburkan loyalitas ini.
-
Perbedaan Konteks Komersial vs. Religius: Meski atribut Natal dijual bebas secara komersial, niat menggunakannya—baik untuk dekorasi atau hadiah—tetap tidak menghilangkan muatan simbolis asalnya. Ulama seperti Syaikh Ibn Utsaimin menegaskan: "Hukum asal menyerupai non-Muslim adalah haram, terlebih dalam hal perayaan."
Penutup dan Rekomendasi
Sebagai Muslim, sikap terbaik adalah menjaga identitas keislaman tanpa terjebak dalam simbolisme agama lain. Toleransi yang diajarkan Islam adalah menghormati hak beribadah non-Muslim, bukan ikut serta dalam ritual mereka. Alternatif yang bisa dilakukan:
-
Menghindari penggunaan atribut Natal baik di rumah, tempat kerja, maupun media sosial.
-
Mengedukasi keluarga tentang bahaya tasyabbuh dan pentingnya menjaga akidah.
-
Menunjukkan toleransi dengan cara Islami, seperti mengucapkan "Selamat beribadah sesuai keyakinan" tanpa mengadopsi simbol mereka.
Dengan memahami dasar hukum ini, seorang Muslim dapat mengambil sikap yang tegas secara akidah namun santun dalam pergaulan sosial. Wallahu a'lam bish-shawab.







