Kenapa Produk Halal Sekarang Jadi Standar Dunia, Bukan Hanya Kebutuhan Umat?

Kenapa Produk Halal Sekarang Jadi Standar Dunia, Bukan Hanya Kebutuhan Umat?
Produk halal telah tersebar luas ke seluruh dunia.

Dunia sedang bergerak lebih cepat daripada yang disadari banyak orang. Laporan State of the Global Islamic Economy keluaran DinarStandard mencatat bahwa belanja konsumen muslim global mencapai ratusan miliar dolar tiap tahun, dan jumlahnya terus naik. Label halal, yang dulu dianggap urusan internal umat muslim, kini justru menjadi bagian dari strategi ekonomi global. Negara-negara maju sudah melihat halal sebagai standar mutu, bukan sekadar simbol agama.

Dunia Non-Muslim Mulai Mengejar Pasar Halal

Fenomena ini bukan sekadar dugaan. Jepang Halal Association melaporkan peningkatan permintaan sertifikasi halal dari pelaku wisata menjelang 2030. Korea Muslim Federation Halal Committee menunjukkan lonjakan permohonan sertifikasi untuk produk kosmetik dan perawatan kulit. Australia melalui Halal Food Authority (HFA) memperluas ekspor daging halal ke Timur Tengah dan Asia Tenggara.

Data UNWTO juga mencatat pertumbuhan wisatawan muslim yang signifikan, membuat negara non-muslim memperkuat fasilitas wisata halal mereka. Mereka bukan mengejar labelnya — tetapi pasarnya.

Halal Diposisikan Sebagai “Quality Assurance

Alasan mengapa banyak negara non-muslim mengejar sertifikasi halal semakin jelas ketika melihat standar yang harus dipenuhi. Studi dari Malaysia Halal Industry Development Corporation (HDC) dan Global Halal Market Insights menunjukkan bahwa halal dipersepsikan sebagai standar kualitas karena:

  • Proses produksi harus higienis
  • Rantai pasok wajib transparan
  • Audit dilakukan berkala
  • Bahan baku harus jelas sumbernya

Di tengah meningkatnya kasus keamanan pangan global yang dicatat FAO, logo halal menjadi jaminan tambahan. Banyak konsumen non-muslim mulai menganggap halal sebagai penanda kualitas premium.

Pasar Indonesia Besar, Tapi Tidak Agresif

Pew Research Center menempatkan Indonesia sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, dan laporan Bank Indonesia tentang Ekonomi Syariah menunjukkan potensi pasar halal domestik yang raksasa. Namun, kontribusi pelaku industri dalam ekspor halal masih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara seperti Malaysia, Thailand, atau bahkan Korea.

Banyak UMKM menganggap sertifikasi halal—yang dikelola BPJPH—sebatas kewajiban administratif. Akibatnya, negara lain mengambil momentum dan bergerak lebih cepat di pasar global.

Teknologi Mulai Mengubah Industri Halal

Tren terbaru dalam laporan Global Islamic Economy 2023/24 menunjukkan akselerasi integrasi teknologi dalam industri halal:

  • Blockchain untuk melacak asal-usul bahan
  • Sertifikasi halal digital
  • Aplikasi konsumen untuk mengecek status halal
  • Pelacakan supply chain real-time

Inisiatif seperti halal traceability yang dikembangkan di Uni Emirat Arab dan Malaysia membuktikan bahwa inovasi digital memperkuat kepercayaan konsumen sekaligus menaikkan standar industri.

Loyalitas Konsumen Muslim Sangat Tinggi

DinarStandard menyoroti fakta penting: konsumen muslim cenderung sangat loyal terhadap brand yang mereka percaya. Perusahaan-perusahaan besar seperti Nestlé, Mondelez, hingga produsen kosmetik Korea Selatan, memanfaatkan data ini dan berinvestasi besar untuk mempertahankan status halal mereka. Mereka tahu bahwa pengakuan konsumen muslim berarti pasar jangka panjang.

Saatnya Indonesia Berhenti Menjadi Penonton

Dengan data dari berbagai lembaga global mendukungnya, satu hal menjadi jelas: industri halal bukan lagi ruang kecil untuk umat muslim saja. Ini sudah menjadi panggung ekonomi dunia. Indonesia memiliki peluang paling besar, tetapi peluang itu tidak otomatis berubah menjadi posisi dominan. Dunia sudah menjadikan halal sebagai standar global.

Sekarang tinggal pertanyaannya: apakah Indonesia siap ikut menentukan standar itu, atau hanya puas menjadi penonton?