Hati-Hati, Hidayah Bisa Hilang Karena Jabatan dan Harta

Kisah pilu Imran bin Hittan, penghafal Quran yang tersesat karena pengaruh istri Khawarij. Simak mengapa harta, jabatan, & lingkungan bisa menghilangkan hidayah, serta doa Nabi untuk keteguhan hati.

Hati-Hati, Hidayah Bisa Hilang Karena Jabatan dan Harta

Hidayah adalah nikmat Allah yang paling mahal harganya. Namun, seringkali kita lupa bahwa nikmat ini bisa pudar, terkikis, atau bahkan hilang sama sekali. Bukan hanya oleh dosa besar yang terlihat, tetapi lebih sering oleh hal-hal yang kita anggap remeh: pengaruh lingkungan, godaan harta, atau sanjungan jabatan. Yang lebih menakutkan, orang-orang yang dekat dengan ilmu agama pun tidak kebal.

Allah SWT memperingatkan:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ ۖ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ
"Wahai orang-orang yang beriman! Jagalah dirimu. Tidak akan membahayakanmu orang yang sesat jika engkau telah mendapat petunjuk." (QS. Al-Ma'idah: 105)

Menjaga diri dalam ayat ini berarti menjaga hidayah yang ada di hati kita agar tidak luntur atau dirampas oleh pengaruh luar.

Kisah Pilu Imran bin Hittan: Hafalan Quran yang Tak Menjaga Hati

Salah satu kisah yang paling menyentuh dan menjadi pelajaran besar adalah tentang Imran bin Hittan. Ia dikenal sebagai seorang pemuda yang cerdas, ahli syair, dan—yang paling utama—seorang penghafal Al-Qur'an (hafiz). Keilmuannya diakui banyak orang.

Suatu ketika, hatinya terpaut pada seorang wanita yang dikenal salehah dan cantik. Namun, ada satu masalah besar: wanita itu adalah seorang Khawarij—golongan yang memiliki pemahaman ekstrem dan menyimpang dari ajaran Ahlus Sunnah.

Orang-orang dekatnya segera mengingatkan, "Wahai Imran, janganlah engkau menaruh hati padanya. Dia adalah seorang Khawarij. Aku khawatir dia akan menyesatkanmu."

Namun, Imran bin Hittan, dengan penuh keyakinan pada dirinya, menjawab, "Aku adalah penghafal Kitabullah. Justru aku yang akan membawanya kepada kebenaran dan mengubah pemahamannya."

Ia yakin, dengan modal hafalan Al-Qur'annya, dialah yang akan memberi hidayah, bukan sebaliknya.

Apa yang terjadi? Kenyataan berbalik 180 derajat. Setelah menikah, bukannya sang istri yang berubah, justru Imran bin Hittan-lah yang perlahan-lahan terpengaruh. Pemikiran ekstrem istrinya merasuk ke dalam benaknya. Diskusi rumah tangga berubah menjadi doktrinasi halus. Akhirnya, Imran bin Hittan, sang hafiz, justru condong dan akhirnya menjadi seorang Khawarij yang ekstrem pula. Hafalan Al-Qur'annya tidak mampu menjadi perisai ketika hatinya telah lemah dan pikirannya terbuka untuk penyimpangan.

Ilmu dan Hafalan Bukan Jaminan

Kisah ini adalah gambaran nyata bahwa ilmu yang banyak dan hafalan yang kuat bukanlah jaminan keselamatan iman. Hati yang tidak dijaga, keyakinan pada diri sendiri yang berlebihan (ujub), dan salah memilih lingkungan (termasuk pasangan hidup) dapat menjadi pintu masuk hilangnya hidayah.

Ini bukan kasus tunggal. Sejarah Islam mencatat:

  • Kisah Bani Nadhir dan Bani Quraizhah, suku Yahudi yang ahli kitab. Mereka mengenal nubuat tentang Nabi Muhammad SAW dalam Taurat, namun kedudukan, harta, dan kesombongan membuat mereka menolak kebenaran yang nyata di depan mata.

Mereka semua punya "modal": ilmu, kedudukan, atau hafalan. Tetapi modal itu sia-sia ketika hati telah dikuasai oleh kepentingan dunia.

Doa Senjata Utama Penjaga Hidayah

Lalu, bagaimana kita menjaga anugerah terbesar ini? Rasulullah SAW mengajarkan kita untuk selalu rendah hati dan bersandar sepenuhnya pada Allah. Beliau adalah manusia paling bertakwa, namun tetap paling sering memanjatkan doa:

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ
"Yaa muqallibal quluub, tsabbit qalbi 'alaa diinik."
"Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu." (HR. Tirmidzi, hasan shahih)

Inilah doa inti untuk kita panjatkan setiap hari, setiap waktu. Doa ini mengakui bahwa hati manusia berada dalam genggaman Allah. Kita tidak punya kuasa sedikit pun untuk menahannya tetap lurus tanpa pertolongan-Nya.

Doa lain yang diajarkan Nabi Yusuf 'alaihissalam juga sangat relevan:

رَبِّ قَدْ آتَيْتَنِي مِنَ الْمُلْكِ وَعَلَّمْتَنِي مِن تَأْوِيلِ الْأَحَادِيثِ ۚ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَنتَ وَلِيِّي فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۖ تَوَفَّنِي مُسْلِمًا وَأَلْحِقْنِي بِالصَّالِحِينَ
"Wahai Tuhanku, sungguh Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebagian kekuasaan dan telah mengajarkan kepadaku sebagian ta'bir mimpi. (Wahai) Pencipta langit dan bumi, Engkaulah pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan muslim dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh." (QS. Yusuf: 101)

Perhatikan: Nabi Yusuf, yang diberi jabatan tinggi sebagai bendahara negara dan ilmu yang dalam, justru menggunakan momen itu untuk berdoa meminta keteguhan mati dalam Islam.

Penutup: Jangan Pernah Berhenti Meminta

Kisah Imran bin Hittan adalah cermin bagi kita semua. Jangan pernah merasa aman dengan ilmu, hafalan, atau amal kita. Jangan merasa diri kita kebal karena sudah lama di jalan dakwah. Hidayah itu milik Allah, diberikan dan bisa saja diambil.

Mari kita jaga hati kita dengan:

  1. Memohon setiap saat dengan doa "Yaa muqallibal quluub..."

  2. Hati-hati memilih lingkungan dan teman dekat, karena mereka cermin masa depan kita.

  3. Selawati Nabi, karena itu adalah cahaya yang membersihkan hati.

  4. Mengakui kelemahan diri di hadapan Allah, dan tidak ujub dengan pencapaian.

Hidayah bukan warisan yang turun-temurun, bukan pula gelar yang permanen. Ia adalah titipan yang harus dijaga dengan rendah hati, istighfar, dan doa yang tak putus-putusnya. Mulai dari detik ini, perbincangkanlah doa "Yaa muqallibal quluub" menjadi bagian dari dzikir harianmu. Karena siapa tahu, esok hari hati kita yang akan diuji.